small_140910-152405_bast100914spo_0521.jpg

Andrea Agnelli Berpidato Dalam Konferensi “Hargai Keragaman” Di Roma.

SHARE
Andrea Agnelli Berpidato Dalam Konferensi “Hargai Keragaman” Di Roma.
Andrea Agnelli Berpidato Dalam Konferensi “Hargai Keragaman” Di Roma.
Andrea Agnelli Berpidato Dalam Konferensi “Hargai Keragaman” Di Roma.

Adalah sebuah kehormatan bagi Juventus Football Club dan saya pribadi untuk berbicara di hadapan anda hari ini mengenai sesuatu hal yang mempengaruhi kita semua. Diskriminasi.

Diskriminasi adalah persoalan rumit. Kita tahu bahwa hal itu ada dan perlu perubahan, namun bagi banyak orang, sulit untuk menemukan solusi yang tepat.

Di Juventus, ikrar kami adalah berkonsentrasi pada pendidikan sebagai kunci untuk mengatasi berbagai bentuk diskriminasi dan mempromosikan persatuan.

Pada bulan Juni tahun ini, kami menyelenggarakan pertandingan amal melawan Real Madrid dalam UNESCO Cup untuk mengumpulkan dana bagi pejuang anak-anak di Mali dan Republik Afrika Tengah. Mereka diberikan program baca-tulis, pelatihan profesi dan partisipasi dalam program-program kebudayaan, olahraga dan seni. Dengan meningkatkan bakat dan keterlibatan intelektual mereka, kami membantu membangun kembali kepercayaan diri mereka dan memberikan mereka harapan akan masa depan yang lebih baik – masa depan yang akan menempatkan mereka pada posisi yang lebih kuat agar dapat mengikuti lingkungan global yang sekarang ini kita berada yang dengan cepat bergerak maju . Tentunya bakat dan kemampuan inilah yang kita perlukan agar dapat terlibat dalam jalannya kehidupan profesional dan sosial.

Anti-diskriminasi, integrasi dan pendidikan. Ketiga hal ini dapat dikatakan sebagai tiga pondasi masyarakat sejahtera – khususnya di dunia sebagaimana telah saya gambarkan tadi, sebuah dunia yang di dalamnya masyarakat bergerak dari satu negara ke negara lain dalam intensitas kerja yang tak pernah terjadi sebelumnya, belajar dan tinggal di luar negeri.

Kita benar-benar telah menjadi populasi yang berpindah-pindah dan masyarakat paling harmonis adalah yang telah belajar untuk menerima dan bercampur dengan berbagai masyarakat lain yang datang dari berbagai belahan dunia. Beberapa negara telah lebih maju dalam persoalan ini. Selama beberapa dekade terakhir, Kerajaan Inggris Raya telah menyaksikan tingkat imigrasi yang sangat tinggi, yang membawa pada terciptanya lingkungan multi-budaya, tak hanya di kota-kota besar, melainkan bahkan sampai ke pedesaan. Dari pengalaman saya saat tinggal dan belajar di Inggris, saya memahami bahwa sudah sangat biasa bagi warga Inggris untuk berjalan-jalan di jalanan, bahkan di kota-kota kecil, dan melihat banyak orang yang berbeda etnis. Inilah keadaannya dan kebanyakan orang tak peduli atau terganggu dengan keragaman ini. Mereka sudah terbiasa dan mereka jalani situasi semacam ini dalam keseharian mereka.

Italia baru saja terbangun melihat fenomena perpindahan massa ini. Tentu saja, untuk sekian lama negara kita memang tempat tujuan para imigran, namun ini adalah kali pertama dalam sejarah kita melihat banyak orang tiba di negeri kita dalam jumlah yang banyak dan tinggal lama di sini untuk mencari nafkah. Dunia telah berubah dan Italia menjadi negeri yang semakin multi-budaya dari sebelumnya.

Tiada teladan yang dapat dicontoh sebaik lapangan sepakbola. Tim-tim dan ruang-ruang ganti kita telah mejadi bengkel multi-kultur, dipenuhi oleh pemain-pemain dari berbagai belahan dunia. Saya melihat susunan pemain Juventus tahun ini dan menghitung ada 8 bangsa berbeda yang turun ke lapangan setiap akhir pekan. Saat mereka mengenakan baju hitam-putih itu, para fans kami tidak peduli darimana mereka berasal. Publik Italia kini telah terbiasa mendukung orang-orang ini. Mereka mungkin berasal dari Ghana, Argentina, atau Turin. Yang penting adalah mereka berjuang bersama.

Juara Dunia saat ini, Jerman, terdiri atas sejumlah pesepakbola yang sebenarnya tidak lahir di negara itu. Pencetak gol sepanjang masa mereka, Miroslav Klose, lahir di Polandia dan telah mejadi ikon bagi seluruh rakyat Jerman. Jika kita harus melihat tim nasional Italia, kita melihat beberapa pemain yang memiliki paspor Italia namun berbudaya asing, yang telah menjadi figur-figur penting baik bagi klub dan negara. Tak perlu dikatakan lagi bahwa Italia dapat melibatkan setiap komponen masyarakatnya seperti halnya Jerman, kita akan menuai hasilnya baik di dalam maupun luar lapangan.

Klub sepakbola modern dapat membuat olahraga ini sempurna melalui pemberantasan rasisme. Sayangnya, kita masih mendengar banyak yel-yel di stadion-stadion, baik dalam bentuk rasis dan diskriminasi wilayah antar orang Italia sendiri. Kita tahu bahwa Italia adalah negara yang terbentuk dari berbagai provinsi berbeda dengan cara hidup yang berbeda pula – inilah keragaman budaya yang seharusnya membuat kita lebih kuat sebagai rakyat, namun kita menjadikan sesuatu yang positif menjadi negatif. Kenapa kita harus melihat perbedaan antara kita dengan amarah dan tindak kekerasan? Jika Italia telah mampu memenangkan banyak Piala Dunia dengan berjuang bersama sebagai sebuah bangsa, negeri ini pun dapat unggul di seluruh sendi kehidupan dengan saling memperlakukan satu sama lain secara setara.

Saya dengan bangga mengatakan bahwa Juventus Football Club berkomitmen untuk menyebarkan pesan-pesan fundamental ini melalui sepasang program sangat penting.

Ini adalah tahun keenam dari program “Kick Out Racism” (Singkirkan Rasisme), dimana Juventus dan Pusat Unesco di Turin mensponsori proyek-proyek anti-rasisme yang diselenggarakan oleh asosiasi non-profit, sekolah-sekolah menengah dan sekolah-sekolah tinggi di Piedmont.

Tahun ini kami menganugerahkan beasiswa kepada dua anak muda yang memiliki beberapa ide cemerlang yang dapat mempercepat proses integrasi kalangan etnis minoritas ke dalam komunitas lokal. Proyek-proyek itu berupa kegiatan akademik dan kegiatan ekstrakulikuler bagi anak-anak dari keluarga yang sedikit atau sama sekali tak memiliki rasa memiliki dalam masyarakat.

Di sini di Juventus, kami percaya bahwa tak ada cara yang lebih baik untuk mempromosikan persatuan masyarakat daripada pendidikan dan hal ini dilakukan dengan dua cara. Tak hanya pendidikan yang memberikan inspirasi bagi keluarga-keluarga kurang beruntung itu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, namun ada pula semacam pendidikan yang tidak diajarkan, namun lebih berupa asimilasi kultural secara alami dengan turut serta bergaul dengan masyarakat dari latar belakang berbeda.

Inilah ide yang melatarbelakangi program “Play With Me” (Bermain Bersamaku) bekerja sama dengan Pusat Unesco di Turin dan sekolah-sekolah negeri lokal. Saat saya masih kecil, sudah biasa pergi ke taman dan bermain sepakbola dengan anak-anak lain. Kini, dengan bangkitnya sekolah-sekolah sepakbola di seluruh Eropa, hal ini menjadi tak lagi biasa. Sekolah-sekolah ini menawarkan pelatihan luar biasa, namun tak semua keluarga dapat mengirimkan anak-anaknya ke sana.

“Play With Me” menyetarakan lapangan bermain dengan mengundang anak-anak dengan kemampuan akademik hebat yang, karena alasan ekonomi dan sosial, tidak dapat mendaftarkan diri untuk masuk ke sekolah sepakbola Juventus. Berkat gerakan ini, mereka memiliki kesempatan untuk bermain dan berpartisipasi dalam seluruh kegiatan yang pada dasarnya menyenangkan.

Dengan menggabungkan anak-anak dari berbagai latar belakang pendidikan, kami meruntuhkan tatanan prasangka yang didorong oleh kelas sosial. Bukannya anak-anak biasanya lebih senang memilih teman dari tingkat sosial yang sama, kami justru melihat banyak pertemanan yang tak memandang kekayaan dan ras. Hal ini, bagi saya, adalah pendidikan dalam bentuk yang sebenarnya. Jika kita dapat membuka pikiran masyarakat sejak dini, mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang terhormat dan bertanggung jawab. Inilah masyarakat yang ingin kita lihat di Juventus Stadium, yang telah memberikan atmosfir kekeluargaan terbaik di Serie-A.

Kesetaraan sejatinya adalah anugerah dalam hidup, namun sayangnya hal itu masih sesuatu dibiarkan begitu saja. Saya yakin bahwa program-program yang kami laksanakan di Juventus dapat memperlihatkan bahwa banyak orang di Italia yang bekerja untuk menanggulangi masalah diskriminasi saat ini.

Sebagai penutup, saya ingin menyinggung sebuah proyek yang saat ini kami kerjakan berkolaborasi dengan Unesco. Setelah menandatangani kemitraan dengan Direktur Jendral Unesco Irina Bokova di markas besarnya di Paris pada Mei 2014, Juventus berkomitmen untuk mendanai sebuah proyek penelitian yang akan menguji masalah-masalah rasisme dan diskriminasi di tingkat olahraga professional yang lebih tinggi dengan fokus pada olahraga sepakbola. Hasilnya akan dipublikasikan dalam sebuah laporan resmi yang ditujukan kepada pemerintah dan para pemegang saham dengan sudut pandang dan data tentang fenomena tersebut. Kami akan mencoba menyelesaikan dokumen ini pada akhir 2015.

Kami telah memperlihatkan di Juventus bahwa pendidikan integrasi masyarakat memberikan solusi untuk mengikis diskriminasi. Contoh yang kami laksanakan di klub kami adalah sesuatu yang kami harap diikuti oleh klub-klub lain dengan penuh perhatian. Sepakbola memiliki tanggungjawab untuk membasmi masalah ini dan dengan bergerak bersama kepada tujuan yang sama kita akan belajar saling menghormati perbedaan masing-masing.

Saya ingin mengakhiri pidato saya hari ini dengan sebuah kutipan yang saya yakin dapat merangkum isi pidato ini. Sebagai politisi Amerika Shirley Chisholm pernah berkata: “Pada akhirnya anti-kulit hitam, anti kesetaraan perempuan, dan segala bentuk diskriminasi berujung pada hal yang sama – anti-kemanusiaan.”

Terima kasih atas undangan anda dan terima kasih atas perhatiannya.

Item Terkait